Sudah  semingguan Badai cuti kerja. Pulang kampung untuk menengok bundanya yang  sedang sakit. Perih hatinya memandang bundanya yang terbaring lemah  dirumah sakit. 8 hari yang lalu mendadak saja tensi bundanya naik  drastis, membuat bundanya pingsan. Lelah tubuhnya tak digubrisnya, setia  dia menunggu bundanya, menanti datangnya kesembuhan. Tak lelah mulutnya  berdzikir, manik-manik tasbih bergulir perlahan ditangannya. Sesekali  dia lafadzkan doa untuk orang sakit, kemudian kembali menggulirkan  tasbihnya. Adiknya Semilir memintanya untuk pulang ke rumah.  "beristirahatlah bang. Pulanglah sejenak. Baringkan tubuhmu itu. Sudah  seminggu kau tak pernah tidur dengan benar.".
Badai  hanya tersenyum. Dia tak beranjak dan tak juga menjawab."jangan khawatir  bang. Bergantian menunggu bunda denganku lah. Tak baik kau menyiksa  diri."lanjut Semilir.diambil tangan abangnya dan ditariknya kearah  pintu."sudah..pulanglah." Badai menurut saja. Tapi mulutnya tetap  bungkam. Dia terlalu takut, bila dia mengeluarkan barang sepatah kata,  kata yang bergetar penuh perih yang akan terdengar.
Sesampainya  di rumah, memang terasa lelahnya. Tentengan kresek putih berisi  bungkusan makanan padang hanya dia letakkan dalam kulkas, tak segera  disentuhnya. Segera Badai berwudhu karena adzan dhuhur telah  berkumandang. Setelah selesai dari sujudnya yang panjang dan doa yang  dia panjatkan, tak beranjak badai dari tempat dia memanjangkan sajadah.  Dia baringkan tubuhnya di atasnya, diruang makan tengah-tengah rumah.  Rumah kosong itu tak terasa sepi buat Badai. Pulang ke rumah terasa aneh. Dia melihat bundanya ada dimana-mana. Di setiap bagian rumah, pasti ada bunda.  Di  meja makan itu, bunda sedang menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya.  Di dapur, bunda sedang memasak gulai kepala kakap kesukaan semua. Di  depan mesin jahit ruang tamu sedang menjahit pesanan baju dari tetangga.  Di halaman rumah sedang menyiangi rerumputan liar. Di dekat sumur  sedang mencuci baju. Dia melihat bundanya dimana-mana sedang ngerjakan  hal yang menjadi rutinitasnya.
 
Kemudian bundanya membelai rambutnya yang baru tumbuh lagi.
“Seperti  sikat saja rambutmu ini, nak” diciumnya kepala Badai dan segera  bundanya mengernyit.”Ah..rupanya kau belum mandi ya. Bau kali kepalamu  itu. Mandilah dulu. Bunda udah penuhkan air di bak mandi.”Badai  tersenyum-senyum saja, menuruti bundanya untuk mandi. Setelah mandi,  badaipun telah siap didepan bundanya lengkap dengan baju barunya.”Bunda,  ajak aku ke pasar kan?” kata Badai dengan tersenyum-senyum. Riang  sekali dia diajak bundanya kepasar. Bila ke pasar, Badai bebas memilih  mainan kesukaan dan jajanan kegemaran. Sejak ayah Badai tak ada,  bundanya selalu memanjakannya. Adiknya diangkat anak oleh bibinya. Tak  tega bibinya melihat ibunya yang telah menjanda membesarkan  anak sendiri dengan penghasilan sebagai penjahit kampong saja. 
 
Di  pasar kampong, badai menunjuk ikan mas mungil dalam plastic yang dijual  seratus perak.”Ini saja Bunda.”kata Badai. Bundanya mengangguk dan  segera menyerahkan uang seratus perak ke tukang ikan. Sampai di rumah,  ditaruhnya ikan itu dalam stoples kaca yang biasanya dijadikan tempat  kue lebaran. Diamatinya ikan itu yang berenang riang-riang. Tapi sungguh  mengagumkan. Ikan ma situ tumbuh dengan pesat. Hanya saja bentuknya tak  lagi cantik. Sisiknya yang tadinya oranye keemasan dan bulat koin,  berubah menjadi hijau kusam berbentuk segi tiga meruncing. Matanya  tiba-tiba memiliki kelopak. Ekornya makin panjang dan berduri, mulutnya  melebar dan tumbuh gigi serta taring. Badai amat ketakutan. Dia  teriak-teriak memanggil bundanya. Tapi kemana gerangan bundanya. Apakah  beliau tak mendengar teriakan ketakutannya.”bundaa……bunda……tolong  akuuu…bunda…” tiba-tiba pipi badai terasa seperti ditepuk-tepuk.”Abang,  lekas bangun. Dicari bunda. Lekas bang.”saat mata Badai terbuka, yang  dilihat bukan bundanya. Hanya Semilir membangunkannya.
“kenapa Lir? Ada apa?”Tanya Badai.
“ayo  segera ke rumah sakit, bunda siuman. Ilir langsung disuruh mama bibi  jemput abang. Sekarang bunda ditungguin mama bibi dan papa paman.”
 
Berdebar  dan bahagia Badai bermotor dengan adiknya menuju rumah sakit.  “Alhamdulillah, akhirnya bunda siuman. Alhamdulillah Ya Allah…”tak henti  mulut Badai bersyukur. Sesampainya di rumah sakit, badai segera menemui  bundanya bersama adiknya.
“bunda,  assalamualaikum.”ucap badai sembari mencium tangan dan segera juga  mencium pipi bundanya. Bergantian Semilir juga melakukan hal serupa.
“Waalaikumsalam  buyung, upik. Bunda rasa, kalian berdua telah dewasa, masing-masing  kalian telah mampu berdiri sendiri. Masing-masing kalian bunda percaya  telah mampu memahami hidup. Untuk Ilir, putri cantikku, segera kan lah  pernikahanmu dengan nak Bayu. Jangan kau berpacaran terlalu lama. Tak  suka bunda melihatnya. Sudah siapkan nak bayu meminangmu?”Tanya bunda  saat memandang Ilir.”aku titipkan Ilir untuk menikah, jadilah kau  walinya Ilir, Badai” lanjut bundanya sembari menatap Badai. Kedua  anaknya mengangguk. “Kamu sendiri jangan lupa kau pikirkan. Carilah  istri yang shaleha. Karena wanita shaleha adalah sebaik-baiknya  perhiasan dunia. Sudah waktunya bunda kembali. Telah ada yang menjemput.  Jadilah kamu lelaki shaleh Badai Laksana. Dan jadilah kamu wanita  shaleha Semilir Carita. Jagalah amanah bunda. Jangan lupa, kirimi selalu  bunda doa.” Mata bundanya terpejam. Mulutnya melafalkan kalimat  tahlil.Leher Badai terasa tegang, mengangguk rasanya berat, karena  melepaskan bundanya sesungguhnya dia belumlah rela. Semilir mulai  terguguk Di genggamnya tangan bunda erat-erat sembari men-talqin  bundanya. “Laa ilaaha… illallah…Laa ilaaha..illallah….”terus menerus  Badai membimbing bundanya. Kemudian genggaman tangan bundanya mengendur  bersamaan dengan seluruh tubuh bundanya. “innalillahi wa inna ilaihi  rojiun.” Semua yang berada diruangan itu kompak berkata. 
 
Pedih hati badai. Berdoa dia untuk kemuliaan bundanya di alam kubur. Bulir  itu bergulir di pipinya, dan tak dia pedulikan meski dia laki-laki.  “Insyaallah, anakmu akan menjaga amanahmu bunda” bisik badai pada  dirinya sendiri….seperti mengingatkan seluruh jiwa dan raganya, suatu  hari habis pulalah episode hidupnya. Seperti mahluk pada umumnya. Akan  ada akhir cerita.
 
cerita  ini terinspirasi dari seorang sahabat yang baru saja kehilangan  bundanya. innalillahi wa inna ilaihi rojiun. turut berduka cita yang  sedalam-dalamnya untuk sahabatku.semoga amal ibadah bunda diterima  disisi Allah dan diampuni semua dosa-dosanya. dan ditempatkan disisi  yang penuh kemuliaan. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar