Kamis, 08 Desember 2011

Akhir Episode Bunda

Sudah semingguan Badai cuti kerja. Pulang kampung untuk menengok bundanya yang sedang sakit. Perih hatinya memandang bundanya yang terbaring lemah dirumah sakit. 8 hari yang lalu mendadak saja tensi bundanya naik drastis, membuat bundanya pingsan. Lelah tubuhnya tak digubrisnya, setia dia menunggu bundanya, menanti datangnya kesembuhan. Tak lelah mulutnya berdzikir, manik-manik tasbih bergulir perlahan ditangannya. Sesekali dia lafadzkan doa untuk orang sakit, kemudian kembali menggulirkan tasbihnya. Adiknya Semilir memintanya untuk pulang ke rumah. "beristirahatlah bang. Pulanglah sejenak. Baringkan tubuhmu itu. Sudah seminggu kau tak pernah tidur dengan benar.".

Badai hanya tersenyum. Dia tak beranjak dan tak juga menjawab."jangan khawatir bang. Bergantian menunggu bunda denganku lah. Tak baik kau menyiksa diri."lanjut Semilir.diambil tangan abangnya dan ditariknya kearah pintu."sudah..pulanglah." Badai menurut saja. Tapi mulutnya tetap bungkam. Dia terlalu takut, bila dia mengeluarkan barang sepatah kata, kata yang bergetar penuh perih yang akan terdengar.

Sesampainya di rumah, memang terasa lelahnya. Tentengan kresek putih berisi bungkusan makanan padang hanya dia letakkan dalam kulkas, tak segera disentuhnya. Segera Badai berwudhu karena adzan dhuhur telah berkumandang. Setelah selesai dari sujudnya yang panjang dan doa yang dia panjatkan, tak beranjak badai dari tempat dia memanjangkan sajadah. Dia baringkan tubuhnya di atasnya, diruang makan tengah-tengah rumah. Rumah kosong itu tak terasa sepi buat Badai. Pulang ke rumah terasa aneh. Dia melihat bundanya ada dimana-mana. Di setiap bagian rumah, pasti ada bunda.  Di meja makan itu, bunda sedang menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya. Di dapur, bunda sedang memasak gulai kepala kakap kesukaan semua. Di depan mesin jahit ruang tamu sedang menjahit pesanan baju dari tetangga. Di halaman rumah sedang menyiangi rerumputan liar. Di dekat sumur sedang mencuci baju. Dia melihat bundanya dimana-mana sedang ngerjakan hal yang menjadi rutinitasnya.
 
Kemudian bundanya membelai rambutnya yang baru tumbuh lagi.
“Seperti sikat saja rambutmu ini, nak” diciumnya kepala Badai dan segera bundanya mengernyit.”Ah..rupanya kau belum mandi ya. Bau kali kepalamu itu. Mandilah dulu. Bunda udah penuhkan air di bak mandi.”Badai tersenyum-senyum saja, menuruti bundanya untuk mandi. Setelah mandi, badaipun telah siap didepan bundanya lengkap dengan baju barunya.”Bunda, ajak aku ke pasar kan?” kata Badai dengan tersenyum-senyum. Riang sekali dia diajak bundanya kepasar. Bila ke pasar, Badai bebas memilih mainan kesukaan dan jajanan kegemaran. Sejak ayah Badai tak ada, bundanya selalu memanjakannya. Adiknya diangkat anak oleh bibinya. Tak tega bibinya melihat ibunya yang telah menjanda membesarkan  anak sendiri dengan penghasilan sebagai penjahit kampong saja.
 
Di pasar kampong, badai menunjuk ikan mas mungil dalam plastic yang dijual seratus perak.”Ini saja Bunda.”kata Badai. Bundanya mengangguk dan segera menyerahkan uang seratus perak ke tukang ikan. Sampai di rumah, ditaruhnya ikan itu dalam stoples kaca yang biasanya dijadikan tempat kue lebaran. Diamatinya ikan itu yang berenang riang-riang. Tapi sungguh mengagumkan. Ikan ma situ tumbuh dengan pesat. Hanya saja bentuknya tak lagi cantik. Sisiknya yang tadinya oranye keemasan dan bulat koin, berubah menjadi hijau kusam berbentuk segi tiga meruncing. Matanya tiba-tiba memiliki kelopak. Ekornya makin panjang dan berduri, mulutnya melebar dan tumbuh gigi serta taring. Badai amat ketakutan. Dia teriak-teriak memanggil bundanya. Tapi kemana gerangan bundanya. Apakah beliau tak mendengar teriakan ketakutannya.”bundaa……bunda……tolong akuuu…bunda…” tiba-tiba pipi badai terasa seperti ditepuk-tepuk.”Abang, lekas bangun. Dicari bunda. Lekas bang.”saat mata Badai terbuka, yang dilihat bukan bundanya. Hanya Semilir membangunkannya.
“kenapa Lir? Ada apa?”Tanya Badai.
“ayo segera ke rumah sakit, bunda siuman. Ilir langsung disuruh mama bibi jemput abang. Sekarang bunda ditungguin mama bibi dan papa paman.”
 
Berdebar dan bahagia Badai bermotor dengan adiknya menuju rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya bunda siuman. Alhamdulillah Ya Allah…”tak henti mulut Badai bersyukur. Sesampainya di rumah sakit, badai segera menemui bundanya bersama adiknya.
“bunda, assalamualaikum.”ucap badai sembari mencium tangan dan segera juga mencium pipi bundanya. Bergantian Semilir juga melakukan hal serupa.
“Waalaikumsalam buyung, upik. Bunda rasa, kalian berdua telah dewasa, masing-masing kalian telah mampu berdiri sendiri. Masing-masing kalian bunda percaya telah mampu memahami hidup. Untuk Ilir, putri cantikku, segera kan lah pernikahanmu dengan nak Bayu. Jangan kau berpacaran terlalu lama. Tak suka bunda melihatnya. Sudah siapkan nak bayu meminangmu?”Tanya bunda saat memandang Ilir.”aku titipkan Ilir untuk menikah, jadilah kau walinya Ilir, Badai” lanjut bundanya sembari menatap Badai. Kedua anaknya mengangguk. “Kamu sendiri jangan lupa kau pikirkan. Carilah istri yang shaleha. Karena wanita shaleha adalah sebaik-baiknya perhiasan dunia. Sudah waktunya bunda kembali. Telah ada yang menjemput. Jadilah kamu lelaki shaleh Badai Laksana. Dan jadilah kamu wanita shaleha Semilir Carita. Jagalah amanah bunda. Jangan lupa, kirimi selalu bunda doa.” Mata bundanya terpejam. Mulutnya melafalkan kalimat tahlil.Leher Badai terasa tegang, mengangguk rasanya berat, karena melepaskan bundanya sesungguhnya dia belumlah rela. Semilir mulai terguguk Di genggamnya tangan bunda erat-erat sembari men-talqin bundanya. “Laa ilaaha… illallah…Laa ilaaha..illallah….”terus menerus Badai membimbing bundanya. Kemudian genggaman tangan bundanya mengendur bersamaan dengan seluruh tubuh bundanya. “innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Semua yang berada diruangan itu kompak berkata.
 
Pedih hati badai. Berdoa dia untuk kemuliaan bundanya di alam kubur. Bulir itu bergulir di pipinya, dan tak dia pedulikan meski dia laki-laki. “Insyaallah, anakmu akan menjaga amanahmu bunda” bisik badai pada dirinya sendiri….seperti mengingatkan seluruh jiwa dan raganya, suatu hari habis pulalah episode hidupnya. Seperti mahluk pada umumnya. Akan ada akhir cerita.
 
cerita ini terinspirasi dari seorang sahabat yang baru saja kehilangan bundanya. innalillahi wa inna ilaihi rojiun. turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk sahabatku.semoga amal ibadah bunda diterima disisi Allah dan diampuni semua dosa-dosanya. dan ditempatkan disisi yang penuh kemuliaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar