Sabtu, 16 November 2013

Mengenang Almarhum Ibu : Vonis Itu tak Terkabul



Tulisan ini pernah disertakan dalam audisi Biru - Sabar Hingga Akhir Waktu. Namun tulisan saya ini masih jauh dari standar yang diharapkan. Kisah Nyata ini terjadi sepuluh tahun silam. Ibu seperti mendapat bonus umur 10 tahun dari Allah. Kesabaran kakakku bersama suaminya semoga dibalas ganjaran surga Allah. aamiin. Dan air mataku mulai menitik lagi. sekarang, doa kami anak cucumu yang menemanimu, bu. 

ibuku tercinta

Malam mulai larut, namun mataku yang memang telah pedas tak mau terpejam juga. Bergantian aku dengan kakak menjaga ibu yang baru saja siuman dari komanya. Ku biarkan saja Mbak Etty, kakakku persis, anak ke 6 dari 7 bersaudara dalam keluargaku, itu terlelap. Dia benar-benar letih. Wajahnya terlihat pucat, namun pada raut wajah cantiknya yang letih tak lagi tergurat kekhawatiran.

Tidak seperti dua hari yang lalu saat ibu masih terbaring koma sudah selama sepuluh hari dirawat di ruang “Unit Rawat Intensif”. Wajahnya yang pucat keletihan terlihat sangat gusar sehabis berkonsultasi dengan dokter. Aku yang kala itu melihat raut mukanya, langsung seperti tersetrum kekhawatiran darinya. Aih, apa yang bakalan aku dengar. Dadaku berdegup sangat kencang. Bahkan desiran darahku seperti terasakan di permukaan kulit. Dia menghampiri kakak-kakakku yang lain, berbicara sebentar. Entah apa yang membuat kakak kedua menitikkan air mata. Sepertinya aku dapat meraba isi percakapan mereka, vonis dokter. Dan merekapun bersama-sama mendekati aku yang tengah duduk di lantai teras gedung ICU. Rasanya aku ingin berlari saja saat itu. Kekhawatiran yang terlalu keras mencengkeram otak membuat aku melihat mereka seperti monster yang akan menerkam dengan kesedihan yang dalam.

Kakak nomor duaku, mbak Tuti menggamit bahuku. Di pegangnya kencang badanku dikelilingi saudara yang lain. Mbak Etty mendekat ke arahku.
“sabar ya Nan, kamu harus tabah dan ikhlas. Baru saja dokter mengabari Mbak Etty bahwa kita harus siap mental bila saja ibu dipanggil Allah.” Mbak Etty berkata pelan.
Seketika itu aku berontak dari pelukan kakak dan dengan marah aku berkata,”nggak mau. Aku nggak mau ibu meninggal. Aku udah minta ama Allah. Nggak mau.”
Aku pergi dengan sangat gusar dengan pipi yang telah berlumuran air mata. Kubanting-banting saja kakiku sepanjang koridor rumah sakit yang sepi itu menuju masjid. Tak peduli pada gosip menyeramkan tentang lingkungan rumah sakit. Yang ada dalam pikiranku saat itu, bila saja ada hantu yang hendak mengganggu akan aku gigit dan cerna saja lumat-lumat. Aku tak sadar, mungkin saja hantu itu kini tengah bersarang dalam otakku, mengacaukan rasio, membakar emosi, menghilangkan iman. Betapa ibuku adalah milik Allah, yang bila sewaktu-waktu Allah menghendaki, beliau akan dipanggil. Sungguh, aku hanya manusia egois yang beberapa tahun lalu baru kehilangan bapak, dan aku belum rela bila harus digenapkan dengan kehilangan ibu. Aku merasa belum siap menghadapi dunia ini sendirian.

Memang aku tahu, ibu sebagai penderita diabetes mellitus, sangat rentan terhadap stroke. Dan itu terbukti saat subuh hari sehabis sholat ibu ditemukan pingsan di dapur oleh kakak laki-lakiku. Segera saja ibu dilarikan ke rumah sakit dan masuk ICU. Kemarin-kemarin, secara bergantian kami menunggui ibu, dan mengajak ngobrol ibu yang tengah koma.

Tapi saat giliran aku yang harus mengajaknya ngobrol dan memegang tangannya, yang ada mulutku terasa kering. Air mata menggenang dipelupuk. Ingin menangis, tapi tak boleh. Takut bila ibu mendengar kesedihanku. Apalagi saat kupandangi ibu yang terdiam, pada lehernya terkalung selang bantu pernapasan yang ujungnya tertuju pada lubang hidung, dan tangannya dihiasi gelang pasien pada satu sisi, sedang sisi yang lain tertusuk jarum infus. Dari balik baju seragam pasien rumah sakit yang dikenakan Ibu, berjuluran beberapa kabel pemantau detak jantung dan tekanan darah. Beliau terlihat sangat pucat dan lemah. Uban telah menjalar diantara rambut hitamnya yang berombak-ombak. Bibirnya pasi berwarna merah jambu cenderung putih karena sebagian tertutupi kulit bibir yang mengering dan agak terkelupas. Kerut-merut menghiasi wajahnya yang masih menyisakan kecantikan yang dia wariskan pada mbak Etty. Tak heran laki-laki tampan yang tak lain adalah almarhum Bapakku, jatuh cinta padamu Ibu yang cantik. Mengingat Bapak, aku jadi makin sedih. Aku bening-beningkan suaraku yang agak parau terkikis rasa sedih. Aku cium tangan beliau dengan penuh kasih sayang. Tangan yang telah membesarkanku. Menimang dengan penuh kasih. Dan bila waktu yang ditentukan untuk menunggui ibu telah habis, aku segera keluar, pergi ke masjid tuk membasuh muka yang panas dengan lelehan airmata, dan berwudhu. Kemudian aku akan terpekur dalam dzikir dan doa yang panjang tuk ibu dan bapakku.

Dan memang, selalu saja aku berlari ke masjid saat hatiku galau. Seperti beberapa hari setelah aku menunggui ibu. Hanya saja sehabis mendengar berita dari kakaku itu badanku ternyata agak demam. Sehabis tahajud dan berdoa, masih dalam balutan mukena aku meringkuk, menangis. Tanganku memegang perutku yang perih, seperih hatiku yang rasanya macam dicincang, seakan aku tak mau hati yang remuk ini, pecah berantakan dan mengotori masjid. Aku berusaha menjernihkan pikiran dan menabahkan diri. Aku bangun, melipat mukena dan segera ke tempat wudhu tuk membasuh muka lagi. Sejuknya air di masjid malam itu, seperti ikut sedikit membilas perih itu. Aku kembali ke gedung Unit Rawat Intensif. Yang ku lihat hanya mbak etty. Aku tanyakan padanya dimana kakak yang lain. Tapi dia memandangku dengan penuh bahagia.
“kemana saja kamu? Mbak Dini mencari-carimu.” Tanyanya dengan ekspresi penuh khawatir sekaligus terdapat ekspresi bahagia.”Nan, ibu udah siuman. Alhamdulillah Nan.” Aku dipeluknya. Aku balas memeluk mbak etty dengan erat dan membisikkan hamdalah pada diriku sendiri. Dan kembali mataku menitikkan air mata. Namun kini adalah air mata bahagia.

Ternyata kakakku yang lain sedang mengangkut barang-barang seperti teremos, rantang makan, tikar, dan tas baju ke bangsal perawatan. Sekalian mengurus administrasi bangsal perawatan. Tak lama, aku melihat ibu didorong diatas brankar rumah sakit dengan mata terpejam. Dan agaknya mbak Etty dapat membaca kekhawatiranku, dia berkata,” ibu Cuma tidur. Tadi mbak udah liat ibu. Hanya saja memang belum berbicara.”. aku lega mendengarnya.

Kemudian seminggu penuh aku bergantian menjaga ibu dengan mbak Etty. Aku berjaga di siang hari saat mbak Etty harus masuk kantor, dan dia berjaga malam. Tapi aku memang tak pernah pulang ke rumah lama-lama. Kadang saat malam aku biarkan kakakku terlelap, toh siang juga dia bekerja. Kakakku yang lain telah pulang ke kotanya masing-masing untuk kembali bekerja. Aku sendiri ternyata masih diijinkan cuti.

Ibu masih diinfus, makannya masih berupa makanan pengganti serupa susu khusus untuk penderita diabetes yang diminumkan melalui hidung atau diistilahkan dengan melalui sonde. Ibuku telah sadar, tapi masih diam saja bila membuka matanya. Kadang aku memijit badannya, membantunya berguling untuk miring ke kiri tanpa dia inginkan. Ya, ibu seperti orang lumpuh. Dia sadar, tapi hanya terdiam saja. Hingga akhirnya sedikit demi sedikit ibu menggerakkan tangannya. Sejauh ini ibu berkomunikasi hanya dengan bahasa isyarat, belum bisa bercakap. Akhirnya ibu diijinkan pulang untuk melakukan rawat jalan oleh dokter.

Mbak Etty memang sangat berbeda dengan  aku. Dia adalah manusia yang tabah, sigap dan penuh ketelatenan. Seperti pada saat dahulu aku hanya bisa menangis sedih saat bapak sakaratul maut, dia dengan tabah mentalkin bapak. Saat aku bingung tak tau harus apa karena terlalu galau, dia telah melangkahkan kaki dan tau harus berbuat apa. Sama juga saat menemui dokter ketika ibu telah diperbolehkan rawat jalan. Dengan cerdas mbak Etty bertanya apa saja yang harus dilakukan untuk perawatan pasien rawat jalan. Tak hanya itu, setelahnya juga dia segera menghubungi beberapa teman sekantor yang kebetulan kantornya adalah rumah sakit, dimana dia dapat menemukan perawat yang bisa merawat ibu di rumah. Juga tentang terapis untuk ibu. Segera setelah mendapatkan nomor kontak mereka, tak menunggu lama mbak Etty segera menelponnya dan bernegosiasi tentang seberapa besar gaji mereka per bulan atau per kedatangan. Saat ibu memerlukan lampu terapi infra merah yang berharga ratusan ribu, tak enggan juga dia merogoh koceknya. Dan yang terpenting, dia juga membuatkan list telepon penting diantaranya dokter spesialis, nomor emergency rumah sakit, nomor telpon ambulance, dan juga nomor telpon dirinya serta suaminya. entahlah, sepertinya pikirannya selalu bening terjaga pas disaat yang lain didera keruwetan

Ibu dibawa pulang ke rumah mbak Etty, karena di rumah ibu, dulu beliau tinggal sendirian hanya dengan pembantu lepasan. Sehabis membereskan rumah, biasanya pembantu pulang. Kemudian mbak Etty juga menyewa seorang perawat yang bisa merawat ibu di rumah saat dia bekerja. Selain itu mbak Etty juga bisa tenang, karena didekat rumahnya ada kakak iparnya yang bisa dimintai bantuan bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tapi meski ada perawat, tetap saja mbak Etty banyak terlibat dalam merawat ibu. Sungguh aku kagum pada kakakku itu.

Tak hanya itu, jangkauan pikirannya juga telah ke depan. Dia mengantisipasi saat nanti perawat berhalangan datang, atau terapis tak dapat dihubungi, selagi masih ada yang merawat, dia juga belajar bagaimana menggantikan popok, memandikan, dan menggantikan baju ibu. Mbak Etty juga belajar bagaimana menyambungkan selang infuse pada botol infus, cara memberi makan via sonde dan sebagainya. Sebagian lain sesekali dia akan meminta tolong pada pak mantri tetangga kakakku. Begitu juga masalah terapi, mbak Etty juga belajar memberikan terapi untuk ibu.

Aku meminta ijin pada mbak Etty untuk kembali ke Jakarta karena aku harus bekerja, dan tentu saja kakakku mengijinkan.
Suatu hari dia harus cuti untuk merawat ibu karena perawat tersebut mengundurkan diri. Memang berat pekerjaannya, karena ibu masih sangat bergantung pada orang lain. Dengan telaten mbak Etty merawat ibu. Saat ibu buang air kecil atau besar, dengan rapi dan berhati-hati dia bersihkan ibu. Dan aku juga sangat bersyukur, kakakku bersuamikan manusia sabar yang juga menyayangi ibuku sebagaimana dia menyayangi ibunya. Tak segan juga dia membantu mbak Etty saat harus menggendong ibuku. Mbak Etty dengan telaten pula memberikan terapi saat terapis berhalangan datang. Penuh sabar kakak memijat dan menyinari otot serta persendian ibu, sedikit demi sedikit mengajarkan ibu dari berbaring miring, mengangkat tangan, mengangkat kaki, berguling, duduk, dan belajar berjalan perlahan. Tentu saja dengan dibantu badannya yang memapah ibuku.

Ketelatenan kakak berbuah manis, ibu bisa kembali sehat. Saat ibu benar-benar telah sadar, beliau meminta untuk diajarkan kembali bacaan-bacaan dalam sholat. Alhamdulillah, ingatan tentang sholat tidak hilang. Tapi rupanya pengetahuan memasak atau ketrampilan rumah tangga lain sebagian hilang. Bahkan beliau lupa dengan wajah anaknya yang pertama. Aku sejujurnya merasa kehilangan ibuku. Beliau seperti bukan ibu. Tapi akhirnya aku istighfar, betapa Allah telah bermurah hati memberikan umur pada ibu. Alhamdulillah…

Hingga sekarang, ibu dalam keadaan sehat. Namun ibu tidak boleh sedih. Bila perasaan sedih mendera, biasanya beliau akan kejang. Mbak Etty sangat menjaga perasaan beliau. Selalu berwajah manis dan bahagia. Seperti ingin menularkan kebahagiaan yang semakin hari semakin membuat ibu kembali tampak bugar dan sumringah. Meski telah berbeda dari saat ibuku belum terkena stroke, aku bersyukur dan bahagia karena Allah mau mendengarkan doaku.
Aku sebagai anak seorang penderita diabetes, jadi harus waspada. Berdasarkan informasi yang aku dapatkan, baik melalui brosur maupun dari berselancar di dunia maya, aku memiliki resiko sebesar 40% terkena penyakit ini dibanding orang bukan keturunan diabetes. Tapi bukan tak mungkin untuk menghindari resiko diabetes tersebut dengan cara menjaga pola hidup sehat seperti makan makanan sehat kaya serat dan olahraga, juga diet rendah gula atau konsumsi gula yang tidak berlebih.

Itu adalah sepenggal kisah disaat Ibuku koma. Hikmah yang dapat kupetik untuk bekal menuju kedewasaan sangat banyak. Demikianlah manusia, hanya mampu mengira-ngira, berusaha, dan berdoa. Hanya Allah semata yang Maha Mampu memutuskan apa-apa yang terbaik bagi umatnya, hanya Allah saja yang Maha Mampu mengabulkan doa hambanya. Dan sejalan dengan makin bertambahnya umur, aku harus belajar dewasa menghadapi hidup, berkaca pada kakakku bagaimana menjaga pikiran tetap jernih saat menemui masalah, bagaimana tetap tegar dan tabah saat menatap musibah. Aku ingin seperti kakakku, manusia yang dapat diandalkan disaat susah, dan manusia yang mampu menularkan kebahagiaan. Dan hal itu memang kembali terbukti pada sigapnya dia beserta suaminya menghadapi bencana letusan besar gunung merapi setahun yang lalu. Ya Allah, lindungi dan sayangi kakak dan iparku. Aku menyayangi mereka.

Depok, 14 Desember 2011.

Saat ini, ibu semoga bahagia dalam lindungan Allah. aamiin.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar