Tulisan ini pernah disertakan dalam audisi Biru - Sabar Hingga Akhir Waktu. Namun tulisan saya ini masih jauh dari standar yang diharapkan. Kisah Nyata ini terjadi sepuluh tahun silam. Ibu seperti mendapat bonus umur 10 tahun dari Allah. Kesabaran kakakku bersama suaminya semoga dibalas ganjaran surga Allah. aamiin. Dan air mataku mulai menitik lagi. sekarang, doa kami anak cucumu yang menemanimu, bu.
Malam mulai
larut, namun mataku yang memang telah pedas tak mau terpejam juga. Bergantian
aku dengan kakak menjaga ibu yang baru saja siuman dari komanya. Ku biarkan
saja Mbak Etty, kakakku persis, anak ke 6 dari 7 bersaudara dalam keluargaku,
itu terlelap. Dia benar-benar letih. Wajahnya terlihat pucat, namun pada raut
wajah cantiknya yang letih tak lagi tergurat kekhawatiran.
Tidak seperti
dua hari yang lalu saat ibu masih terbaring koma sudah selama sepuluh hari
dirawat di ruang “Unit Rawat Intensif”. Wajahnya yang pucat keletihan terlihat
sangat gusar sehabis berkonsultasi dengan dokter. Aku yang kala itu melihat
raut mukanya, langsung seperti tersetrum kekhawatiran darinya. Aih, apa yang
bakalan aku dengar. Dadaku berdegup sangat kencang. Bahkan desiran darahku seperti
terasakan di permukaan kulit. Dia menghampiri kakak-kakakku yang lain,
berbicara sebentar. Entah apa yang membuat kakak kedua menitikkan air mata.
Sepertinya aku dapat meraba isi percakapan mereka, vonis dokter. Dan merekapun
bersama-sama mendekati aku yang tengah duduk di lantai teras gedung ICU. Rasanya
aku ingin berlari saja saat itu. Kekhawatiran yang terlalu keras mencengkeram
otak membuat aku melihat mereka seperti monster yang akan menerkam dengan kesedihan
yang dalam.
Kakak nomor duaku,
mbak Tuti menggamit bahuku. Di pegangnya kencang badanku dikelilingi saudara
yang lain. Mbak Etty mendekat ke arahku.
“sabar ya Nan, kamu harus tabah dan ikhlas. Baru saja dokter
mengabari Mbak Etty bahwa kita harus siap mental bila saja ibu dipanggil
Allah.” Mbak Etty berkata pelan.
Seketika itu aku
berontak dari pelukan kakak dan dengan marah aku berkata,”nggak mau. Aku nggak
mau ibu meninggal. Aku udah minta ama Allah. Nggak mau.”
Aku pergi dengan
sangat gusar dengan pipi yang telah berlumuran air mata. Kubanting-banting saja
kakiku sepanjang koridor rumah sakit yang sepi itu menuju masjid. Tak peduli
pada gosip menyeramkan tentang lingkungan rumah sakit. Yang ada dalam pikiranku
saat itu, bila saja ada hantu yang hendak mengganggu akan aku gigit dan cerna
saja lumat-lumat. Aku tak sadar, mungkin saja hantu itu kini tengah bersarang dalam
otakku, mengacaukan rasio, membakar emosi, menghilangkan iman. Betapa ibuku
adalah milik Allah, yang bila sewaktu-waktu Allah menghendaki, beliau akan
dipanggil. Sungguh, aku hanya manusia egois yang beberapa tahun lalu baru
kehilangan bapak, dan aku belum rela bila harus digenapkan dengan kehilangan
ibu. Aku merasa belum siap menghadapi dunia ini sendirian.
Memang aku tahu,
ibu sebagai penderita diabetes mellitus, sangat rentan terhadap stroke. Dan itu
terbukti saat subuh hari sehabis sholat ibu ditemukan pingsan di dapur oleh
kakak laki-lakiku. Segera saja ibu dilarikan ke rumah sakit dan masuk ICU.
Kemarin-kemarin, secara bergantian kami menunggui ibu, dan mengajak ngobrol ibu
yang tengah koma.
Tapi saat
giliran aku yang harus mengajaknya ngobrol dan memegang tangannya, yang ada
mulutku terasa kering. Air mata menggenang dipelupuk. Ingin menangis, tapi tak
boleh. Takut bila ibu mendengar kesedihanku. Apalagi saat kupandangi ibu yang
terdiam, pada lehernya terkalung selang bantu pernapasan yang ujungnya tertuju
pada lubang hidung, dan tangannya dihiasi gelang pasien pada satu sisi, sedang
sisi yang lain tertusuk jarum infus. Dari balik baju seragam pasien rumah sakit
yang dikenakan Ibu, berjuluran beberapa kabel pemantau detak jantung dan
tekanan darah. Beliau terlihat sangat pucat dan lemah. Uban telah menjalar
diantara rambut hitamnya yang berombak-ombak. Bibirnya pasi berwarna merah
jambu cenderung putih karena sebagian tertutupi kulit bibir yang mengering dan
agak terkelupas. Kerut-merut menghiasi wajahnya yang masih menyisakan
kecantikan yang dia wariskan pada mbak Etty. Tak heran laki-laki tampan yang
tak lain adalah almarhum Bapakku, jatuh cinta padamu Ibu yang cantik. Mengingat
Bapak, aku jadi makin sedih. Aku bening-beningkan suaraku yang agak parau
terkikis rasa sedih. Aku cium tangan beliau dengan penuh kasih sayang. Tangan
yang telah membesarkanku. Menimang dengan penuh kasih. Dan bila waktu yang
ditentukan untuk menunggui ibu telah habis, aku segera keluar, pergi ke masjid
tuk membasuh muka yang panas dengan lelehan airmata, dan berwudhu. Kemudian aku
akan terpekur dalam dzikir dan doa yang panjang tuk ibu dan bapakku.
Dan memang,
selalu saja aku berlari ke masjid saat hatiku galau. Seperti beberapa hari
setelah aku menunggui ibu. Hanya saja sehabis mendengar berita dari kakaku itu
badanku ternyata agak demam. Sehabis tahajud dan berdoa, masih dalam balutan
mukena aku meringkuk, menangis. Tanganku memegang perutku yang perih, seperih
hatiku yang rasanya macam dicincang, seakan aku tak mau hati yang remuk ini,
pecah berantakan dan mengotori masjid. Aku berusaha menjernihkan pikiran dan
menabahkan diri. Aku bangun, melipat mukena dan segera ke tempat wudhu tuk
membasuh muka lagi. Sejuknya air di masjid malam itu, seperti ikut sedikit
membilas perih itu. Aku kembali ke gedung Unit Rawat Intensif. Yang ku lihat
hanya mbak etty. Aku tanyakan padanya dimana kakak yang lain. Tapi dia
memandangku dengan penuh bahagia.
“kemana saja
kamu? Mbak Dini mencari-carimu.” Tanyanya dengan ekspresi penuh khawatir
sekaligus terdapat ekspresi bahagia.”Nan, ibu
udah siuman. Alhamdulillah Nan.” Aku dipeluknya. Aku balas memeluk mbak etty
dengan erat dan membisikkan hamdalah pada diriku sendiri. Dan kembali mataku
menitikkan air mata. Namun kini adalah air mata bahagia.
Ternyata kakakku
yang lain sedang mengangkut barang-barang seperti teremos, rantang makan,
tikar, dan tas baju ke bangsal perawatan. Sekalian mengurus administrasi
bangsal perawatan. Tak lama, aku melihat ibu didorong diatas brankar rumah
sakit dengan mata terpejam. Dan agaknya mbak Etty dapat membaca kekhawatiranku,
dia berkata,” ibu Cuma tidur. Tadi mbak udah liat ibu. Hanya saja memang belum
berbicara.”. aku lega mendengarnya.
Kemudian
seminggu penuh aku bergantian menjaga ibu dengan mbak Etty. Aku berjaga di
siang hari saat mbak Etty harus masuk kantor, dan dia berjaga malam. Tapi aku
memang tak pernah pulang ke rumah lama-lama. Kadang saat malam aku biarkan
kakakku terlelap, toh siang juga dia bekerja. Kakakku yang lain telah pulang ke
kotanya masing-masing untuk kembali bekerja. Aku sendiri ternyata masih
diijinkan cuti.
Ibu masih
diinfus, makannya masih berupa makanan pengganti serupa susu khusus untuk
penderita diabetes yang diminumkan melalui hidung atau diistilahkan dengan
melalui sonde. Ibuku telah sadar, tapi masih diam saja bila membuka matanya.
Kadang aku memijit badannya, membantunya berguling untuk miring ke kiri tanpa
dia inginkan. Ya, ibu seperti orang lumpuh. Dia sadar, tapi hanya terdiam saja.
Hingga akhirnya sedikit demi sedikit ibu menggerakkan tangannya. Sejauh ini ibu
berkomunikasi hanya dengan bahasa isyarat, belum bisa bercakap. Akhirnya ibu
diijinkan pulang untuk melakukan rawat jalan oleh dokter.
Mbak Etty memang
sangat berbeda dengan aku. Dia adalah
manusia yang tabah, sigap dan penuh ketelatenan. Seperti pada saat dahulu aku
hanya bisa menangis sedih saat bapak sakaratul maut, dia dengan tabah mentalkin
bapak. Saat aku bingung tak tau harus apa karena terlalu galau, dia telah
melangkahkan kaki dan tau harus berbuat apa. Sama juga saat menemui dokter
ketika ibu telah diperbolehkan rawat jalan. Dengan cerdas mbak Etty bertanya
apa saja yang harus dilakukan untuk perawatan pasien rawat jalan. Tak hanya
itu, setelahnya juga dia segera menghubungi beberapa teman sekantor yang
kebetulan kantornya adalah rumah sakit, dimana dia dapat menemukan perawat yang
bisa merawat ibu di rumah. Juga tentang terapis untuk ibu. Segera setelah
mendapatkan nomor kontak mereka, tak menunggu lama mbak Etty segera menelponnya
dan bernegosiasi tentang seberapa besar gaji mereka per bulan atau per
kedatangan. Saat ibu memerlukan lampu terapi infra merah yang berharga ratusan
ribu, tak enggan juga dia merogoh koceknya. Dan yang terpenting, dia juga
membuatkan list telepon penting diantaranya dokter spesialis, nomor emergency
rumah sakit, nomor telpon ambulance, dan juga nomor telpon dirinya serta
suaminya. entahlah, sepertinya pikirannya selalu bening terjaga pas disaat yang
lain didera keruwetan
Ibu dibawa
pulang ke rumah mbak Etty, karena di rumah ibu, dulu beliau tinggal sendirian
hanya dengan pembantu lepasan. Sehabis membereskan rumah, biasanya pembantu
pulang. Kemudian mbak Etty juga menyewa seorang perawat yang bisa merawat ibu
di rumah saat dia bekerja. Selain itu mbak Etty juga bisa tenang, karena
didekat rumahnya ada kakak iparnya yang bisa dimintai bantuan bila terjadi
sesuatu yang tak diinginkan. Tapi meski ada perawat, tetap saja mbak Etty
banyak terlibat dalam merawat ibu. Sungguh aku kagum pada kakakku itu.
Tak hanya itu,
jangkauan pikirannya juga telah ke depan. Dia mengantisipasi saat nanti perawat
berhalangan datang, atau terapis tak dapat dihubungi, selagi masih ada yang
merawat, dia juga belajar bagaimana menggantikan popok, memandikan, dan
menggantikan baju ibu. Mbak Etty juga belajar bagaimana menyambungkan selang
infuse pada botol infus, cara memberi makan via sonde dan sebagainya. Sebagian
lain sesekali dia akan meminta tolong pada pak mantri tetangga kakakku. Begitu
juga masalah terapi, mbak Etty juga belajar memberikan terapi untuk ibu.
Aku meminta ijin
pada mbak Etty untuk kembali ke Jakarta
karena aku harus bekerja, dan tentu saja kakakku mengijinkan.
Suatu hari dia
harus cuti untuk merawat ibu karena perawat tersebut mengundurkan diri. Memang
berat pekerjaannya, karena ibu masih sangat bergantung pada orang lain. Dengan
telaten mbak Etty merawat ibu. Saat ibu buang air kecil atau besar, dengan rapi
dan berhati-hati dia bersihkan ibu. Dan aku juga sangat bersyukur, kakakku
bersuamikan manusia sabar yang juga menyayangi ibuku sebagaimana dia menyayangi
ibunya. Tak segan juga dia membantu mbak Etty saat harus menggendong ibuku.
Mbak Etty dengan telaten pula memberikan terapi saat terapis berhalangan
datang. Penuh sabar kakak memijat dan menyinari otot serta persendian ibu,
sedikit demi sedikit mengajarkan ibu dari berbaring miring, mengangkat tangan,
mengangkat kaki, berguling, duduk, dan belajar berjalan perlahan. Tentu saja
dengan dibantu badannya yang memapah ibuku.
Ketelatenan
kakak berbuah manis, ibu bisa kembali sehat. Saat ibu benar-benar telah sadar,
beliau meminta untuk diajarkan kembali bacaan-bacaan dalam sholat.
Alhamdulillah, ingatan tentang sholat tidak hilang. Tapi rupanya pengetahuan
memasak atau ketrampilan rumah tangga lain sebagian hilang. Bahkan beliau lupa
dengan wajah anaknya yang pertama. Aku sejujurnya merasa kehilangan ibuku.
Beliau seperti bukan ibu. Tapi akhirnya aku istighfar, betapa Allah telah
bermurah hati memberikan umur pada ibu. Alhamdulillah…
Hingga sekarang,
ibu dalam keadaan sehat. Namun ibu tidak boleh sedih. Bila perasaan sedih
mendera, biasanya beliau akan kejang. Mbak Etty sangat menjaga perasaan beliau.
Selalu berwajah manis dan bahagia. Seperti ingin menularkan kebahagiaan yang
semakin hari semakin membuat ibu kembali tampak bugar dan sumringah. Meski
telah berbeda dari saat ibuku belum terkena stroke, aku bersyukur dan bahagia
karena Allah mau mendengarkan doaku.
Aku sebagai anak
seorang penderita diabetes, jadi harus waspada. Berdasarkan informasi yang aku
dapatkan, baik melalui brosur maupun dari berselancar di dunia maya, aku
memiliki resiko sebesar 40% terkena penyakit ini dibanding orang bukan
keturunan diabetes. Tapi bukan tak mungkin untuk menghindari resiko diabetes
tersebut dengan cara menjaga pola hidup sehat seperti makan makanan sehat kaya
serat dan olahraga, juga diet rendah gula atau konsumsi gula yang tidak
berlebih.
Itu adalah
sepenggal kisah disaat Ibuku koma. Hikmah yang dapat kupetik untuk bekal menuju
kedewasaan sangat banyak. Demikianlah manusia, hanya mampu mengira-ngira,
berusaha, dan berdoa. Hanya Allah semata yang Maha Mampu memutuskan apa-apa
yang terbaik bagi umatnya, hanya Allah saja yang Maha Mampu mengabulkan doa
hambanya. Dan sejalan dengan makin bertambahnya umur, aku harus belajar dewasa
menghadapi hidup, berkaca pada kakakku bagaimana menjaga pikiran tetap jernih
saat menemui masalah, bagaimana tetap tegar dan tabah saat menatap musibah. Aku
ingin seperti kakakku, manusia yang dapat diandalkan disaat susah, dan manusia
yang mampu menularkan kebahagiaan. Dan hal itu memang kembali terbukti pada
sigapnya dia beserta suaminya menghadapi bencana letusan besar gunung merapi
setahun yang lalu. Ya Allah, lindungi dan sayangi kakak dan iparku. Aku
menyayangi mereka.
Depok, 14
Desember 2011.
Saat ini, ibu semoga bahagia dalam lindungan Allah. aamiin.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar