Sama sekali tak ada niatan rasis
dalam tulisan saya kali ini. Eh, di tulisan yang lain juga nggak lah. Memang
sih, disini terkandung beberapa nama ras di Indonesia. Tapi kan
memang karena Indonesia
banget yang memiliki suku bangsa yang beragam. Kalo menurut Wikipedia, jumlah
suku di Indonesia
lebih dari 300. Wow, banyak banget. Dan sejalan dengan ragamnya suku bangsa
yang ada di Indonesia,
bahasanya pun beragam-ragam pula dengan tradisi yang berbeda-beda pula.
Saya sendiri, orang jawa yang
menikah dengan orang bersuku Batak Tapanuli Selatan. Sungguh tak pernah
menyangka saya akan menikah dengan orang seberang pulau. Tapi namanya juga
jodoh, meski harus menyeberang pulau pun, pasti akan bersatu juga kan?
Saya satu-satunya anak bapak ibu
yang menikah dengan orang suku lain. Kakak-kakak saya semua (kebetulan saya
bontot dari 7 bersaudara) menikah dengan satu suku (jawa). Awal saya bercerita
kepada kakak saya yang ke 6 pun, dia kaget alang kepalang. Meski ditutupi
perasaan kagetnya, tapi saya tetap bisa membacanya dari raut mukanya yang
takjub, tak menyangka. Tapi sungguh saya bahagia, saat saya perkenalkan dia di
rumah, keluarga saya menerima dengan tangan terbuka. Alhamdulillah, bukan
masalah berbeda suku, toh memang Indonesia sangat kaya ragam
sukunya. Yang penting akhlaknya terpuji, mampu melindungi keluarganya kelak,
bertanggung jawab, dan serius.
Saat telah menikah pun, keragaman
budaya makin saya rasakan. Menikah dengan adat jawa, biasa saya saksikan.
Karena semua kakak saya memang menikah dengan adat Jawa, utamanya Jawa Tengah.
Saat perayaan atau resepsi di tempat mertua, kami merayakan dengan adat Batak
Mandailing. Memakai mahkota logam besar yang cantik, baju kurung ala melayu,
gelang-gelang, kalung-kalung, serta ulos yang diselempangkan. Begitu juga hiasan
pelaminan yang didominasi warna merah dan kuning yang juga dihiasi oleh ulos.
Tak beda dengan budaya Jawa saat
pernikahan dengan “pembekalan” berupa nasehat-nasehat yang disebut “ular-ular”,
di adat Batak Mandailing juga ada pembekalan dari saudara-saudara yang
dituakan. Selain itu ada juga pemberian ulos(mangulosi) ada tepung tawar, dan
upacara adat lainnya yang saya belum begitu tau artinya.
Dalam berkomunikasi sehari-hari,
kami dipersatukan dengan Bahasa Indonesia, bahasa nasional kebanggaan kita.
Meski terkadang kami saling lupa saat menerima telepon dari saudara di kampung.
Terkadang saya terselip berbahasa jawa. Begitu pula suami saya saat berbincang
dengan opung anak saya, dia berbahasa mandailing. Namun kami tak keberatan.
Sedikit-sedikit malah bisa memperkaya ranah bahasa kami.
Sebenarnya, peristiwa “pengayaan
ranah bahasa” secara informal ini bukan hanya terjadi saat saya menikah dengan
suami saya saja. Saat mulai memasuki bangku kuliah, saya menjadi lebih terbuka
mata dengan keragaman dan kekayaan bahasa yang dimiliki Indonesia
dengan lebih nyata. Tak hanya tahu dari buku-buku literatur sekolah saja yang
memang semenjak sekolah dasar-terutama pelajaran Pendidikan Moral Pancasila-
menjabarkan betapa beragamnya suku bangsa dan bahasa di Indonesia. Memasuki
bangku perkuliahan, otomatis pergaulan menjadi lebih luas dan terbuka.
Kebetulan saya menuntut ilmu pada perguruan tinggi negeri yang relatif luas
peminatnya dari beragam suku.
Saat saya kuliah, selama di dalam
kelas perkuliahan sebenarnya kami selalu berkomunikasi dengan bahasa pengantar
resmi bahasa Indonesia.
Hanya sebagian saja menggunakan pengantar berbahasa Inggris. “pengayaan ranah
bahasa” justru timbul di luar lingkup kampus. Hal itu justru timbul saat saya
bergaul dengan teman satu kost yang kebetulan sebagian bersuku sunda dengan
bahasa sehari-hari sering berbahasa sunda, sebagian lagi bersuku jawa wilayah
banyumas, dengan bahasa sehari-hari sering berbahasa Banyumasan (terkadang
orang sering menyebutnya ngapak-ngapak), yang relatif berbeda dengan bahasa Jawa Tengah wilayah Jogja Solo. Sementara sebagian lagi bersuku Betawi, dengan
logat khasnya.
Tapi kisah saya yang menarik saya
untuk belajar bahasa daerah lain adalah bukan karena mereka dengan suka rela
mengajari saya berbahasa daerah mereka. Awal saya bergabung dalam lingkup
pergaulan mereka di kost, justru saya sering di kerjai karena saya satu-satunya
suku yang tak memiliki teman satu kost yang satu suku dengan bahasa yang sama.
Saya dulu sama sekali tak memahami bahasa Sunda, bahasa Banyumasan, dan hanya
bahasa Indonesia dengan logat Betawi yang saya ketahui. Bahasa Betawi memang
tak beda dengan bahasa Indonesia.
Hanya logatnya saja yang sedikit berubah.
Namun, mereka melakukan itu bukan
dengan tujuan jahat atau melecehkan. Mereka suka saja bercanda melihat temannya
kebingungan mentranslasikan bahasa mereka. Akhirnya saya minta teman satu kelas
saya untuk mengajari saya sedikit bahasa sunda atau bahasa banyumasan. Saat
teman satu kost mengetahui betapa saya kukuh belajar bahasa mereka, akhirnya
mereka luluh dan mau mengajari bahasa mereka. dan lebih lucunya lagi, saat saya
telah memahami sedikit bahasa mereka, mereka justru berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia.
Dan saat mereka bercandaan dengan bahasa mereka atau pun bahasa Indonesia, saya
bisa turut tertawa dan terhanyut dengan bercandaan mereka.
Sekarang, saat saya telah
bertempat tinggal di depok saya makin belajar logat Betawi. Karena meski
termasuk dalam wilayah Jawa Barat, sebagian besar penduduk depok adalah orang
Betawi. Maka makin kayalah ranah bahasa saya. Alhamdulillah.
Ah bangga dan senangnya menjadi
orang Indonesia.
Memiliki tak hanya kekayaan alam yang sangat berlimpah, keanekaragaman hayati
yang kaya ragamnya, juga memiliki kekayaan budaya yang sangat patut kita
banggakan. Yang harus terus di pupuk dan dibina adalah penghargaan terhadap
keanekaragaman itu. Kebhinekaan yang menuju satu kesatuan Indonesia.
Keragaman budaya itulah yang membuat Indonesia berbeda dengan Negara
lain. Yang membuat Indonesia
“Paling Indonesia”.
Depok 11 Juni 2012
Tulisan ini diikutkan lomba blog
Paling Indonesia yang diselenggarakan oleh komunitas blogger Anging Mammiri
bekerja sama dengan Telkomsel Area Sulampapua (Sulawesi
- Maluku - Papua)
Kalau soal bahasa...memang negarakita paling kaya bahasa. Lupa jumlahnya berapa ya..pernah sempet baca,katanya kita punya puluhan ribu ragam jenis bahasa daerah.
BalasHapusItu Sumsel, palembang dan sekitarnya. buanyak banget macam bahasanya. sampe aku aja ga ngerti :D bahasa palembang beda, dengan sakatiga, beda dengan pagar alam besemah, beda dengan komering. puyeng sendiri :D
aku lg pengen belajar bahasa sunda niy mbak :D enak soalnya dengernya. mendayu2
iya mbak bella.apalagi ada rencana tinggal di Parung ya.masuk wilayah jawa barat.ntar kak nadine belajar muatan lokalnya bahasa sunda kalo nggak salah.:D.
Hapuscucok memang orang Jawa nikah sama orang Batak. Tetanggaku jg gitu :D :D
BalasHapusalhamdulillah..cuco'.temanku kayaknya anak "Pejabat" juga. lahir di Magelang dan besar juga di Magelang.akhirnya meski dia memiliki nama dan marga batak, tapi dia berbahasa jawa medok tanpa tahu bahasa batak.*jd ingat tiur maida.:D
Hapusteh neu juga tuh mbak ela. suaminya orang Batak.
bahasa itu salah satu khas yg "Indonesia Banget" yaaa... :)
BalasHapusiya mbak ke2nai. salah satu yang Indonesia banget adalah bahasa.satu pulau aja bahasanya beragam.trus seperti kata mbak bella(ichawee) di atas tuh..palembang aja ada buanyak bin bejibun bahasa yg makin mengunikkan Indonesia.^_^
HapusMandailing toh mba.baju pengantin kita samaan mbaa. Keren ya :D
BalasHapuseh...sama ya?jeng windi orang mandailing kah?atau dr pihak suami?
Hapussemoga sukses lombanya :)))
BalasHapusmbak marisa, aamiin.makasih telah berkunjung mbak.:D.masih newbie mbak.:D
Hapusmbak anik indonesia banget, berbeda2 tetapi satu jua (suaminya ...hihihi). semoga sukses mbak :)
BalasHapusaamiin.iya mbak..berbeda-beda tapi tetap satu juga.hehehe^_^
HapusAiiih mbak Anik jadi penganten gaul banget, pake nunjukin 'piis' ke kamera. Biasanya penganten kan diam aja kalo dipoto, xixixiii..
BalasHapusSemoga menang ya mbak :)
hehehe..itu masih dikamar mbak elyn.jadi berani ber-peace ria.xixixi...makasih do'anya mbak elyn.alhamdulillah.menang.yippie..^_^
Hapusbaru ngeh tuh fhoto ternyata fhoto pengantinnya mba Anik ya???? berat gak tuh mahkotanya???? aku bersyukur dulu nikah cuman pake adat kalimantan, gak mesti pake adat Palembang, lebih ribet bo...yang pasti mesti pake mahkota berat kayak mba Anik itu tuuuh....
BalasHapusberat mbak sarah.pusing.xixixi...tapi keren yak.xixi..^_^
Hapusmari kita lestarikan kebudayaan indonesia yang beraneka ragam ini.
BalasHapusbest regard,
adi pradana
benar,bila bukan bangsa sendiri, siapa lagi?^_^
Hapustrasdisi yang baru dengar,,
BalasHapusinformatif,,,
Kunjungan blogwalking.
Sukses selalu..
kembali tak lupa mengundang juga rekan blogger
Kumpul di Lounge Event Blogger "Tempat Makan Favorit"
Salam Bahagia
saya tau juga setelah menikah dengan adat itu.^_^
HapusKerenn :D Portal Update
BalasHapusterima kasih ^_^
Hapusberkunjung sekaligus membaca tulisan saudara diatas... Menarik!! Salam kenal dari saya.. jika berkenan, kunjungi juga tulisan saya.. Iwak Peyek dan Garuda yang Tak Pernah Terbang
BalasHapusterima kasih.^_^.insyaallah akan balas berkunjung^_^
HapusBW ni Mbak...dan sama2 pny panggilan Anik :P (sok ngakrab)..
BalasHapusSmoga tulisannya menang yaaaaa..Aminnnnn
salam perkawinan campur..merdeka! :D
aamiin mbak Anik juga.^_^.terima kasih do'anya.:D
Hapusmerdeka!^_^
Selamat ya, Mbak Anik menang:)
BalasHapusalhamdulillah...makasih mbak Naqi^_^
HapusProk prok prok selamat mama Ola ... ikut senang dan bangga ...
BalasHapusTulisannya emang keren ^__^
#Beuh, ke mana saja saya selama ini ya koq baru mampir di sini setelah pengumuman#
alhamdulillah mbak Niar.makasih ya udah colek2 daku buat lomba ini.^_^
HapusSelamat ya, telah menjadi salah satu pemenang.
BalasHapusSalam kenal.
terima kasih.salam kenal juga^_^
Hapus